Setelah Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama menerbitkan buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Kelas VII Madrasah Tsanawiyah (MTs) kurikulum 2013 pada bulan yang lalu (September 2014), sempat menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Hal ini karena beberapa konten dari buku tersebut dianggap menghina kelompok tertentu dan berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat.
Redaksi yang dianggap kontroversi dalam buku tersebut ada
tiga : Pertama, berhala dilakukan oleh agama selain
Islam, yaitu Hindu dan Budha. Kedua,
berhala
sekarang adalah kuburan para wali,
dan Ketiga, adanya istilah dukun.
Merespon beberapa redaksi yang dianggap ganjil dalam buku
tersebut, banyak tuntutan yang kemudian muncul dari berbagai masyarakat,
diantaranya ketua Fraksi PKB, Marwan Jafar menginginkan agar Kementrian Agama
menarik ulang dan merevisinya.
Oleh karena itu, demi alasan efektivitas dan berbagai
macam pertimbangan, buku tersebut akan ditarik dan tidak
digunakan lagi oleh para guru. Instruksi penarikan telah diinformasikan kepada
Kanwil Kemenag di seluruh Indonesia. "Keputusan yang kami ambil sebagai bentuk tanggung jawab, maka
buku itu kami tarik dari edaran," kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag,
Nur Kholis Setiawan dalam jumpa pers di kantor Kemenag, Jl. Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2014).
Adapun buku yang ditarik tersebut, sebanyak 15.200
eksemplar yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Nur Kholis mengakui, pihaknya kurang cermat
dalam melakukan proses editing. "Kami mohon maaf dengan sepenuh hati
atas kekurangcermatan pada proses proof reading pada halaman tersebut,"
kata Nur Kholis.
Menanggapi kejadian di atas, ada beberepa titik tekan yang penulis
anggap perlu disoroti. Pertama, kaitannya dengan adanya kurikulum baru, pastinya
Dirjen Pendidikan Kemenag sangat disibukkan dengan sosialisasi kebijakan dan
pengadaan bahan ajar yang harus disesuaikan dengan kurikulum baru. Mereka tidak
hanya menyusun satu buku saja tetapi banyak buku yang harus disusun. Hal ini
membutuhkan tenaga dan pikiran ekstra dalam proses penyusunan. Sehingga jika kemudian
terjadi kesalahan dalam penyususnan buku, itu merupakan suatu hal yang wajar.
Hanya saja pihak Kemenag harus memperbaiki kekeliruan tersebut agar tidak
terjadi dikemudian hari. Karena, hal serupa sebenarnya pernah terjadi ditahun-tahun
sebelumnya.
Kedua,
terdapat tiga redaksi yang dianggap berpotensi menimbulkan keresahan di
masyarakat, yaitu “berhala dilakukan oleh agama selain Islam, yaitu Hindu
dan Budha”, “berhala sekarang adalah kuburan para wali”, dan adanya
istilah “dukun”. Jika melihat konteks kekinian, maka redaksi-redaksi
tersebut dari segi makna tidaklah menjadi suatu persoalan. Realitanya memamang
begitu, banyak kaum Muslim yang menjadikan kuburan para wali sebagai tempat
yang dikeramatkan dan tempat untuk meminta-minta, sehingga sah-sah saja jika
dikatakan berhala pada saat ini. Begitupun istilah “dukun”, sekarang ini
mengalami perluasan makna, banyak orang pintar yang dianggap sebagai dukun,
bahkan beberapa ustadz pun juga dikatan sebagai dukun hanya karena memiliki
perbedaan pengetahuan dengan orang lain.
Hanya saja redaksi-redaksi tersebut, memang perlu untuk
diperbagus lagi bahasanya karena sasarannya adalah anak-anak Mts. Sangat bisa
untuk menimbulkan perbedaan interpretasi, tidak hanya kepada anak-anak bahkan
juga kepada gurunya. Apalagi pendidik yang notabenenya dari kalangan Nahdiyyin
karena menurut mereka kuburan para wali merupakan tempat yang sakral dan suci.
Wajar saja kalau Pimpinan NU dan Partai PKB angkat bicara. Berbeda dengan
Muhammadiyah yang beranggapan bahwa semua kuburan itu sama, tanpa mebeda-bedakan
satu dengan yang lain.
Ketiga, dilihat
dari segi pendanaan, maka kekeliruan yang dilakukan oleh Kemenag tersebut,
bukanlah kekeliruan yang biasa. Pasalnya, sangat banyak dana yang harus
dikeluarkan untuk membiayai proses penarikan buku, revisi buku dan kemudian
pendistribusian ulang ke seluruh penjuru Nusantara. Bayangkan saja sebanyak
15.200 eksemplar
telah tersebar di seluruh Indonesia.
Dan sekarang, pendistribusian buku revisi sebanyak 15.000 eksemplar sudah mulai
dilakukan. Jika dihitung-hitung, anggap saja harga 1 buku adalah 10.000, maka
total dana yang harus dikeluarkan untuk revisi buku adalah 150.000.000, belum
lagi proses pendistribusiannya. Kesalahan seperti inilah yang merugikan Negara.
Kelalaian, ketidakcermatan dan kurangnya rasa tanggung jawab.
Penulis melihat, untuk meminimalisir pengeluaran Negara
agar bisa digunakan di sektor yang lebih membutuhkan, maka tidak perlu
melakukan penarikan buku apalagi sampai dilakukan pembuatan ulang buku revisi
dengan jumlah yang sama. Revisi tetap dilakukan tetapi hanya pada lembaran yang
mengandung redaksi kontroversial saja, karena melihat kondisi di lapangan ternyata
kekeliruan itu hanya terdapat dalam satu halaman. Dengan demikian, uang negara
tidak terlalu banyak yang harus dikeluarkan hanya karena kekeliruan beberapa
pihak.
Keempat, kasus
ini adalah salah satu contoh bagaimana pentingnya peran masyarakat untuk ikut
mengawasi apabila ada kejadian serupa. Laporan masyarakat ini yang menjadi
piranti kontrol yang efektif. Semua bisa direvisi dan diperbaiki karena buku
adalah living document.
Mengaitkan kasus ini dengan pelajaran PKPI di kelas, memaang
betul bahwa suatu kebijakan pemerintah sangat dipengaruhi oleh aktifitas civil
society. Dalam hal ini adalah para ormas/ tokoh masyarakat dan media massa.
Semuanya harus saling bersinergis agar putusan atau kebijakan bisa lebih
maksimal. Tanpa adanya pengaruh dari elemen-elemen tersebut maka kebijakan
dalam hal ini penarikan buku kontraversial tidak akan pernah dipersoalkan.
Dengan kata lain dibiarkan saja bagaikan angin lewat dan peserta didiklah yang
menjadi korban ketidakpahaman.
@
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten